Kamis, 11 Desember 2008

A STORY BEHIND THE LADDER

Nama saya...sebut saja Sari. Saya seorang wanita keturunan campuran berbagai etnis, dengan tinggi dan berat 176-59. Kacamata minus, rambut pendek seleher dan tidak dicat warna-warni, saya enggan menuliskan ukuran-ukuran vital, karena bentuk badan saya tidak serba besar, tapi cenderung kurus panjang. Saya bekerja di sebuah perusahaan swasta di kota S. Beberapa bulan yang lalu, aku berjumpa dengan seorang teman lama. Nama panggilan kecilnya adalah Julie, dimana nama itu sudah jarang dipakainya sekarang. Julie ini adalah teman semasa SMA, dimana dulunya dikenal sebagai anak ranking papan atas yang selalu menjadi langganan anak-anak seperti aku untuk meminjam catatannya menjelang hari-hari ujian. Karena dulu ia tergolong tipe 'nerd' yang berkacamata agak tebal dan potongan rambut panjang dikepang dua, maka jarang ada teman pria yang meminjam catatannya. Para pria lebih memilih membeli fotokopian catatannya yang kujual di kelas, tentunya dengan keuntungan yang cukup memadai untuk sekedar uang parkir dan jajan (hehehe). Anyway, saat aku bertemu dengannya di sebuah plaza di kota S ini, aku tidak menyadari bahwa yang berdiri di belakangku pada antrean panjang ATM Bank Capek Antri itu adalah dia. "Emmm...permisi." Bisik suara wanita di belakangku. Secara refleks aku menengok ke belakang dengan tatapan agak ke bawah, karena umumnya jarang ada wanita yang tinggi matanya sejajar dengan tinggi mataku. "Ya?" Tanyaku sambil tersenyum ramah pada wanita berbusana kantor itu. "Sari ya?" Tanyanya sambil tetap tersenyum. "Iya." Aku mengangguk dan juga tetap tersenyum, meski mungkin dari senyumanku dia tahu bahwa aku tidak ingat padanya. "Lupa ya?" Tanyanya lagi sambil memiringkan kepala ke kanan, "Aku Julie." "Julie?" Jawabku mengingat-ingat, "Julie SMA ***?" Lanjutku menyebutkan nama SMA ku. Wanita itu mengangguk keras kegirangan. Singkat kata, setelah terbebas dari antrean ATM konyol itu, kami melangkah ke sebuah kafe yang tak jauh dari situ. Julie memesan secangkir Cappucino, sementara aku tetap dengan Aqua tidak dingin yang sudah menjadi trade mark-ku sejak sembilan tahun terakhir. Julie yang kukenal dulu jauh berbeda dengan yang kulihat di depanku sekarang. Hari ini ia mengenakan blazer abu-abu dengan rok mini senada, stocking berwarna gelap, kamisol warna putih, rambutnya yang dulu panjang dikepang dua sekarang pendek praktis, agak lebih pendek dari rambutku. Kacamata yang dipakainya juga tidak berkesan seperti pantat botol lagi, melainkan kecil, elips horisontal dengan frame biru tua. Wajahnya yang dulu sewaktu SMA dibiarkan polos tanpa apa-apa, kini juga dilapisi make-up ringan dengan nuansa lembut, serasi dengan warna kulitnya yang putih terang. "So...gimana kabarmu sekarang, eh?" Tanyanya, "Kamu datang waktu reuni besar kemarin nggak?" "Yah, aku datang waktu itu." Jawabku, "Nggak banyak kok teman dekat kita yang datang." "Iya, aku juga dengar kalau suasananya nggak begitu seru." Jawabnya, "Lagian...aku rasa kok rasa-rasanya pola pikir teman-teman sudah banyak berubah kali ya?" Aku hanya mengangguk karena di bibirku terselip sedotan. Mataku tertuju pada sebuah agenda elektronik yang diletakkannya di atas meja kafe. "Kamu juga pakai Palm Pilot," Tanyaku usai menyeruput Aqua, "Jadi orang sibuk yah?" "Lumayanlah," Jawabnya sambil menimang PalmV nya, "Kata teman-teman, kamu jadi boss sekarang yah?" "Begitulah," Jawabku, "Jenderal dengan gaji kopral." Kami lalu tertawa-tawa dan melanjutkan obrolan panjang kami tentang kehidupan masing-masing sekarang. Seperti biasa, aku lebih banyak diam dan memancingnya bicara lebih banyak untuk menggali informasi, siapa tahu ada yang penting. Obrolan berlanjut hingga tanpa terasa matahari sudah terbenam di hari Jumat sore itu. Suasana plaza mulai berubah. Tidak lagi banyak pria berdasi atau wanita berblazer lalu lalang, digantikan orang-orang berpakaian santai atau kelompok-kelompok ABG berbusana aneh untuk orang seangkatanku. Gelas Aqua di hadapanku juga sudah berubah menjadi secangkir Espresso. Kopi pertama yang aku minum dalam sembilan tahun terakhir, itu pun karena dipaksa oleh Julie. Agak pusing juga sehabis minum secangkir kopi keras. Maklum, sembilan tahun terakhir aku hanya minum air putih. "Ada acara apa setelah ini, Jul?" Tanyaku padanya sambil melirik arloji. "Biasa lah, kencan." Terdengar jawaban singkatnya yang membuatku kaget setengah mati. Bagi orang yang pernah mengenal Julie semasa SMA, agak sulit untuk mencerna jawaban yang seperti itu, yang mengatakan bahwa acara kencan adalah biasa. "Sama siapa?" Tanyaku dengan wajah serius bercampur menggoda. "Menghina kamu!" Jawab Julie pura-pura memukul tanganku dengan PalmV nya, "Jaman udah berubah, Sar!" Aku tidak menjawab atau bertanya lebih lanjut, hanya memelototi matanya dengan pandangan ingin tahu. "Biasa lah, Sari. Untuk bisa punya posisi kayak kamu kan berbagai cara harus ditempuh." Jawabnya. Aku agak tersinggung dengan ucapannya itu, tapi karena sudah lama tidak berjumpa, jadi aku hanya mengangkat bahu dan memajukan bibir bawah, isyarat untuk mengiyakan tapi tidak terlalu menyetujui. "Dimana ntar malam kencannya?" Tanyaku agak curious. "T." Katanya menyebutkan sebuah pub yang terletak di sebuah hotel bintang lima yang paling tidak laku di kota S. Jawabannya sekali lagi mengagetkanku karena tempat itu dikenal sebagai tempat yang agak jarang menjadi pilihan para pengelana malam hingga karena senyapnya, tempat itu sering dijadikan 'meeting point' bagi mereka yang akan melanjutkan kencan ke arah yang lebih jauh. Tempat itu memang bukan tempat para wanita 'profesional' menjajakan kehangatan, juga bukan tempat para hidung belang atau bule mencari selimut hidup, tapi belakangan ini banyak pasangan yang melakukan 'discreet relationship' dijumpai berada di situ. Singkat kata, setelah berargumen tentang siapa yang harus membayar minuman, kami berpisah. Sepanjang jalan menuju apartemenku, kepalaku dipenuhi rasa ingin tahu. Sikap dan tongkrongan Julie tadi cenderung lebih 'terbuka' daripada aku sendiri, sepertinya Julie tidak terlalu memikirkan privacy-nya yang mungkin saja terganggu oleh kebiasaannya berkencan. Tapi aku juga tidak yakin apakah Julie hidup sebagai petualang, bisa saja yang dikencaninya itu pacar atau tunangannya 'kan? Memang umum kalau setiap orang menganggap orang lain seperti dirinya sendiri, termasuk aku. Tapi tempat yang dipilihnya untuk berkencan cenderung tidak wajar. Karena usil dan rasa ingin tahu tidak dapat diusir dari kepalaku, aku meraih Ericsson T28 yang tergeletak di jok samping, menempelkan handsfree pada telingaku, dan menghubungi seorang kawan. Luki namanya, pria ini kuketahui bekerja di perusahaan yang sama dengan tempat Julie bekerja. "Hallo Sari!" Terdengar suara pria bernada sok macho di ujung sana, "Ada apa nelpon pas weekend? Sedirian yah?" "Jangan mikir yang aneh-aneh dulu, lah!" Jawabku bercanda, "Ada yang mau aku tanyain." "Oh ya? Apa itu?" Tanya Luki balik, "Apa mau cari jodoh?" "Hihihi, nggak lah!" Jawabku sambil menginjak gas mempercepat Katana Hijauku, "Kamu kenal sama yang namanya Julie?" "Julie?" Tanya Luki dengan nada tidak kenal, "Siapa tuh?" "Teman kerja kamu." Jawabku sambil menyebutkan sekolah dan universitas tempat Julie berasal. "Ooh si itu." Jawab Luki menyebutkan nama depan Julie, rupanya dengan nama itu ia biasa dipanggil di kantor, "Kenal." "Dia temanku SMA." Jawabku lagi, "Orangnya kayak gimana sekarang?" "Wah, dia sih luar biasa Sar!" Jawab Luki lagi, "Perpaduan antara Girl to bring home to mama dan Girl to bring home to bed!" Sekedar info, sejumlah teman pria mengkategorikan wanita dalam dua kategori umum, yaitu 'Girl to bring home to Momma' dan Girl to bring home to bed'. Tipe pertama ditujukan untuk wanita klasik yang penurut, bersikap manis, setia, dan keibuan. Sementara tipe kedua berisi wanita-wanita jalang yang umumnya memiliki kelebihan fisik minus kelebihan kapasitas pikir. "Lho, kok campuran? Gimana tuh?" Tanyaku dengan nada bengong untuk menggali informasi lanjutan. "Kurang lebih kayak kamu lah." Jawab Luki dengan nada yang mulai mengarah ke rayuan gombal. Sejenak otakku berputar untuk memikirkan sesuatu, dan beberapa detik kemudian aku menjawab, "Luk, malam ini kamu ada acara nggak?" "Napa emang?" Tanya Luki, "Mau ngajak dating sama aku?" "Boleh deh." Jawabanku yang sudah pasti disambutnya dengan lompatan girang, "Di T jam setengah sembilan." "Hah? Kok disitu?" Tanya Luki agak kaget mendengar pilihan tempat itu. "Kamu mau apa enggak?" Tanyaku dengan nada take it or leave it. Dan sudah barang tentu ajakan si pemburu tidak akan mendapat penolakan. Pukul delapan lebih seperempat, aku sudah berada di toilet hotel bintang lima dimana pub T berada. Aku berdiri memandangi cermin sambil mengamati bayanganku sendiri. "Hm...Luar biasa." Pujiku pada bayanganku sendiri di depan cermin. Malam itu aku mengenakan kemeja silk tipis lengan panjang berwarna hitam hampir transparan dengan tiga kancing atas yang terbuka, di baliknya samar-samar tampak bra strapless warna hitam juga, dan kedua tungkaiku yang panjang itu terbalut rapi oleh jeans Armani hitam ketat. Sepatu Bruno Magli hitam dengan hak setinggi 9 senti membuat tubuhku makin menjulang. Wajahku yang biasanya kubiarkan tanpa makeup, kini kupoles rapi dengan warna- warna cokelat, eyeshadow, blush-on, dan maskara, semuanya serba coklat. Lipstik berwarna terracota melapisi warna merah bibirku agar tampak sedikit suram misterius. Rambut pendek yang biasanya aku sisir belah tengah dan terurai lemas, kini kaku oleh sapuan styling foam dan disisir ke belakang tanpa belahan, dengan beberapa helai rambut jatuh menutupi dahi. "Hm, you look like a mysterious bitch-witch!" Bisikku pada diri sendiri. Hm, rasanya masih ada yang kurang...Oh, ya! Aku juga melepaskan kacamataku dan memasang contact lens yang berwarna coklat muda. Gila juga, bayangan di cermin itu sih tampak seperti bukan Sari yang biasanya, tapi Sari yang lebih...hm...bitchy, tanpa meninggalkan kesan misterius, elegan, dan intelligent. Setelah agak lama mengagumi diri sendiri, aku meninggalkan toilet dan melangkah masuk ke pub T di sisi lain hotel ini. Seperti dugaanku, ketika aku memasuki ruangan, beberapa pasang mata melotot ke arahku dengan berbagai cara. Ada yang benar-benar melotot, ada yang sekedar melirik malu, ada yang sok tidak melihat tapi tetap melirik, ada juga yang melotot sambil pasang senyum-senyum menyebalkan. Aku menyapu pandangan mengelilingi ruangan, mengamati pengunjung, bar, band yang beraksi di panggung. Di salah satu barstool yang mengelilingi bar, tampak Luki sedang duduk menghadap ke segelas draft dan wajah menanti- nanti. Matanya sempat mampir ke arahku, tapi segera berpindah ke arah lain, dia tidak mengenaliku. Bagus! Luki akan kuurus nanti, tapi aku harus menemukan si Julie dulu. Sambil berjalan dengan agak susah karena tidak terbiasa dengan hak sembilan senti, aku mengamati ruangan sekali lagi, dan...aha! Di bagian lain pub ini, di game room, tampak Julie masih mengenakan kamisol putih yang tadi sore dipakainya namun blazernya telah dilepas hingga pundak putihnya yang halus itu leluasa mendirikan bulu kuduk pria (atau bagian lain dari pria) yang melihatnya, sedang memegang tongkat billyard. Sayang pasangan mainnya tidak terlihat karena dari posisiku tertutup tembok, namun dari tidak banyaknya suara dari ruang game itu, kurasa di ruangan itu tidak ada orang lain selain Julie dan teman mainnya. Setelah yakin bahwa Julie berada di tempat itu, aku menghampiri Luki dan berdiri di sampingnya, bersandar pada bar. "Waiting for somebody, Sir?" Tanyaku dengan aksen British-ku yang memang agak kental. "Huh? Err...Yes." Jawab Luki sambil memandangi aku dari bawah ke atas. Aku tersenyum sambil melebarkan mata, membiarkannya mengamati mataku yang tertutup contact lens coklat itu dan membuatnya berpikir-pikir bengong. Karena kasihan, akhirnya aku tertawa dan menepuk bahunya. "Hahahaha, nggak ngenalin aku ya Boss?" "Eh...Sari?" Tanyanya dengan nada bingung namun girang, "Kok kayak tukang sihir gitu? Kirain turis." Kami lalu tertawa-tawa dan terdiam mendengarkan musik. Mataku tetap mengawasi celah dinding ke arah game room. "Kok tumben ngajak kencan lagi?" Tanya Luki, "Udah gitu ke sini pula." "Ada yang pengen aku tunjukin dan tanyain ke kamu." Jawabku singkat sambil menggelengkan kepala menolak tawaran bartender untuk membuatkanku minum. "Yaah, kirain mau ngajak kencan." Canda Luki. "Nanti lah, Luk." Jawabku, "Semuanya pada waktunya. Oh ya, ntar pulangnya naik mobil kamu aja ya?" Agar Luki tidak terlalu gelisah, aku meletakkan tanganku pada bahunya sambil lalu dan membiarkannya disitu. Luki ini adalah seorang pria berusia 30-an tahun, single, dan menduduki posisi yang cukup penting di tempatnya bekerja. Aku mengenalnya karena mantan pacarnya adalah temanku di universitas. Pria yang humoris dan menyenangkan. Wajahnya biasa saja, tidak jelek, sedikit ganteng, dan bentuk tubuhnya juga lumayanlah untuk orang rata-rata. Sayangnya dia agak lebih pendek dari aku, jadi sepatu yang kupakai sekarang membuatnya lebih minder lagi. Itu sebabnya aku memasang sikap mesra padanya, sambil sesekali mengusap punggungnya di tengah pembicaraan. Tak lama kemudian, dari game room muncul seorang pria setengah baya berbadan gemuk besar mengenakan kaos oblong merah dan blue jeans agak belel. Dari tongkrongannya tampaknya ia seorang berkocek tebal khas kota S yang cenderung tidak aneh-aneh dalam berdandan. "Luki, kamu kenal orang itu nggak?" Tanyaku sambil menunjuk ke seberang ruangan ke arah pria gemuk tadi. "Hmm?" Luki mengamati sebentar, "Jelas kenal dong! Dia salah satu shareholder terbesar perusahaanku." Aku mengangkat alis dan mengangguk-angguk, karena mulai memahami maksud kata-kata Julie di cafe tadi sore. Luki yang merasa 'bertanggung jawab' pada perusahaannya segera bangkit berdiri dari barstoolnya dan meninggalkanku, menghampiri orang gemuk tadi. Terlihat Luki menepuk punggungnya, lalu mereka berdua bercakap-cakap ringan. Dari gerakan bibir mereka, aku menangkap bahwa Luki menanyakan apakah pria itu sendirian saja, dan pria itu mengiyakan. Hm...ada yang kurang beres. Dalam hati aku merasa bahwa ini semua bukan urusanku, tapi rasa ingin tahu dan penasaranku mengalahkan kebijaksanaan itu. Usai berbasa-basi dengan orang itu, Luki kembali ke bar. Pada saat Luki berjalan kemari dan membelakangi game room, Julie muncul dan menyusul pria gendut tadi berjalan keluar pub, menuju toilet mungkin. Luki dan Julie tidak saling melihat. "Luk, main yuk!" Ajakku sekembalinya Luki ke kursinya. "Hah? Sekarang? Disini?" Tanya Luki agak tergagap. "Aduuh, otaknya itu lhooo!" Jawabku sebal sambil menunjuk dahi, "Main billyard atau darts maksudku." "Oooh, kirain." Jawab Luki pasang senyum menyebalkan, "Boleh deh." Aku dan Luki memasuki Game Room dan mendapati bahwa di meja billyard masih terdapat bola-bola berserakan, menandakan pemain terakhir belum usai memainkannya. Di meja sudut ruangan terdapat sebuah tas wanita dan blazer terlipat rapi di sampingnya, blazer si Julie. Berarti mereka akan kembali lagi ke ruang ini, pikirku. Aku lantas mengajak Luki untuk kembali ke ruang bar dengan alasan meja billyard masih dipakai orang. Dalam hati aku ingin sekali mengetahui apa yang dilakukan Julie dengan shareholder perusahaannya itu, tapi di sisi lain aku sudah terlanjur mengajak Luki ikut dalam acara ini. Kalau salah langkah, ulahku bisa merugikan mereka semua atau setidaknya salah satu dari mereka. Band sudah memainkan beberapa lagu, beberapa orang mulai turun ke lantai dansa, dan Luki sudah mengosongkan gelas Draft-nya yang kedua, namun Julie dan teman kencannya belum terlihat kembali ke pub. Sejenak aku meninggalkan Luki untuk berjalan ke toilet, mencari tahu kalau- kalau Julie masih berada di sana. Dalam perjalananku ke toilet, belasan pasang mata kembali menatapku nanar, namun aku tidak mempedulikannya karena berkonsentrasi dengan hak sepatuku yang mempersulit jalan ini. Tiba di toilet wanita, aku mencopot kedua sepatu sial itu dan dengan nafas lega melangkahkan kaki beberapa langkah, duh enak sekali berjalan tanpa ganjal begini. Aku melangkah masuk ke sebuah bilik toilet dan duduk di atas kloset yang tertutup, menanti suara-suara 'seru' yang mungkin dibuat oleh Julie. Dalam 'penantian' itu, aku merasa jantungku seperti berdenyut lebih kencang dari biasanya. Tidak terlalu mengganggu, tapi cukup membuat kondisi fisikku jadi terasa seperti kelebihan energi. Mungkin pengaruh Espresso yang kuminum tadi sore. Rupanya seperti ini pengaruh kopi kental pada orang yang sudah bertahun-tahun hanya minum air putih. Cukup waswas juga rasanya. Penantianku tidak sia-sia, di tengah suasana sepi toilet itu, terdengar pintu terbuka dengan agak keras, diiringi tawa-tawa kecil. Terdengar juga suara bisik-bisik seorang pria, hmm...toilet wanita kok dimasuki pria? pikirku. Di negara lain seperti Jerman pun toilet wanita tidak boleh dimasuki pria, meski toilet pria boleh dimasuki wanita. Lalu terdengar bilik di samping bilik yang kutempati dibuka dan ditutup lagi, lalu sepi tidak terdengar apa-apa selain gesekan kain. Hmm...ada pasangan yang sedang ingin menyalah gunakan toilet rupanya. Muncul sedikit iseng di kepalaku. Segera aku membersihkan diri, lalu memakai kembali Armani hitam ketatku. Lalu dengan perlahan- lahan aku menutup kloset, mengenakan kembali stilleto hak sembilan senti pada kakiku, dan naik ke atas tutup kloset. Bilik-bilik toilet ini dipisahkan oleh partisi semi permanen setinggi kurang lebih dua meter. Partisi itu melekat di lantai, hingga kita tidak bisa melihat kaki orang di bilik sebelah, namun tidak melekat di langit-langit, menyisakan ruang selebar 20 sentian. Nah, dari celah itu aku mencoba mengintip ke bilik sebelah sambil berdiri di atas tutup kloset. Nah, saat itu juga aku melihat semuanya. Teman SMA-ku yang manis, Julie, dengan hanya mengenakan kamisol putihnya yang tersingkap ke atas dan tidak mengenakan apapun untuk bagian bawah tubuhnya sedang terpejam-pejam dan menggigit rok yang telah dilepaskannya untuk menahan suara yang mungkin keluar dari mulutnya. Badan setengah telanjangnya itu sedang duduk dan bergerak naik-turun di atas pangkuan pria gemuk yang duduk di atas kloset tertutup sambil tangannya menggerayangi pinggang dan dada Julie yang memang cukup indah. Tubuh Julie menggeliat-geliat sambil sesekali bergerak naik turun di atas pangkuan pria itu. Untungnya ia memejamkan mata rapat-rapat hingga meski sering menengadah ke atas, ia tidak melihatku yang sedang mengintip dari atas partisi. Sementara si pria gemuk juga tak dapat melihatku karena wajahnya tertutup oleh punggung Julie yang sedang dipangkunya. Sayang sekali dari atas sini aku tidak dapat melihat dengan jelas apakah tubuh mereka memang menyatu, tapi dari ekspresi wajah dan gerak-gerik Julie, tampaknya memang tubuhnya sedang terjejali oleh sesuatu milik pria gemuk itu. Aku memutuskan untuk menikmati pertunjukan itu sampai selesai. Terlihat bagaimana tangan- tangan pria itu bergerak kasar dan buru-buru, meremas-remas pinggang dan dada Julie dengan kencang, kadang-kadang juga mencubit puting- puting Julie dengan keras hingga wajah Julie tampak agak meringis seperti kesakitan atau tidak nyaman. Hmm...tampaknya secara fisik Julie tidak begitu menikmati kegiatan itu. Ia hanya bersikap seolah- oleh memenuhi kebutuhan si pria. Tidak terlalu lama kemudian, setelah meliuk-liukkan tubuh di pangkuan si pria, Julie lalu melompat berdiri, hingga dari atas sini aku dapat melihat kejantanan pria itu tegak dan berkilau karena basah. Julie kemudian berjongkok di hadapan pria itu dan melakukan blowjob. Nah, karena aku kurang suka kegiatan itu, aku pun menghentikan kegiatan nakalku dan turun dari kloset. Aku meninggalkan toilet, namun tidak segera kembali ke pub. Aku berdiri bersandar di dinding di depan pintu toilet wanita sambil menyilangkan kaki dan melipat tangan di depan dada. Kepalaku menunduk sedikit, meski mataku mengawasi pintu toilet. Beberapa menit kemudian, kedua insan yang baru bermesraan itu keluar dari toilet dan kembali ke pub sambil bergandengan tangan. Dalam perjalanan kembali ke pub itu, wajah Julie tampak menatap ke arahku dengan pandangan aneh, yang kubalas dengan kerdipan mata kiri. Julie tidak menghiraukan dan terus menggandeng teman gendutnya masuk ke pub. Segera setelah mereka masuk, aku meraih T28 dari saku celana dan menelpon Luki mengajaknya pulang. Lama sekali Luki tidak muncul. Setelah mondar-mandir agak lama, akhirnya pintu pub terbuka, hingga suara hingar-bingar band terdengar sejenak, lalu sunyi kembali ketika pintu itu tertutup. Luki tampak melangkah keluar dari situ. "Pulang?" Tanya Luki menghampiriku. "Iya, udah malam." Jawabku singkat. "Langsung pulang?" Tanyanya lagi. "Iya, udah malam." Jawabku mengulangi jawaban yang tadi dengan cueknya. Singkat kata, aku dan Luki telah berada di kokpit Panther merahnya. Luki menjalankan mobilnya dengan kecepatan rendah, seperti tidak ingin segera mengakhiri malam, sementara aku sendiri cuek saja mengikuti arus. Setelah ngobrol sana-sini, tibalah kami pada masa 'setan lewat' (Masa dimana pembicaraan terhenti karena kedua pihak kehabisan kata- kata setelah satu topik selesai dibahas). Saat diam begitu, aku mulai merasakan kembali detakan jantungku yang agak tidak normal ini. Badanku juga terasa aneh, seperti kelebihan tenaga dan mataku seperti tidak bisa mengantuk meski aku berusaha membuka mulut untuk menguap, suhu badanku juga terasa lebih rendah dari biasanya. Aku mulai mengkhawatirkan kesehatanku akibat kopi yang kuminum sore tadi. Tapi tiba-tiba Luki mengambil inisiatif untuk melakukan apa yang sejak tadi ingin dilakukannya, ia meletakkan tangan kirinya pada paha kananku. Kehangatan suhu tangan Luki seperti mengalirkan sesuatu ke dalam tubuhku yang sedang dalam kondisi tidak normal ini. Sesuatu yang rasanya aneh, hangat, panas, dan...sesuatu itu biasa kita sebut birahi. Sambil tetap tidak berkata-kata, Luki menggerak-gerakkan tangannya meremas-remas paha kiriku dengan lembut...perlahan- lahan...lalu makin lama makin mendekat ke pangkal pahaku. Secara refleks, aku sedikit merenggangkan kedua kakiku. Melihat itu, Luki menggerakkan tangannya makin ke dalam, sambil jemarinya terus membuat gerakan meremas-remas. Tangan kiriku meraih tangkai reclining seat di sisi kiri kursi, dan membiarkan sandaran kursiku turun beberapa derajat hingga posisi dudukku kini agak terlentang. Kedua tanganku terangkat ke atas berpegangan pada kepala sandaran kursi di belakang tengkukku. Aku memejamkan mata, membiarkan Luki melakukan apa yang diinginkannya pada tubuhku. Detakan jantungku yang lebih cepat dari biasanya kembali terasa. Sambil tetap tidak berkata apa-apa, Luki menggerakkan tangannya meraba-raba perutku yang datar ini. Mengusap-usap. Lalu telapak tangan itu merambat naik. Dengan mata terpejam aku merasakan kehangatan tangan Luki mulai meraba-raba kedua payudaraku. Diluar dugaanku, pengaruh kopi itu ternyata begitu besar, baru saja telapak tangan Luki mengusap dada kananku yang masih tertutup bra dan kemeja ini, puting kananku langsung terasa mengeras dan rasa gelinya terasa begitu hebat hingga aku jadi amat terangsang. Tangan Luki lalu meninggalkan dadaku. Terasa ia mempercepat mobilnya, lalu setelah beberapa saat, mobil melambat dan bunyi lampu sign berdetak-detak pertanda ia akan membelok. Tanpa banyak perlawanan dan tanpa kata-kata, aku menurut saja ketika Luki mengajakku turun ke sebuah hotel berbintang tiga yang letaknya agak di tengah pasar (Posisi yang aneh untuk sebuah hotel berbintang, tapi itulah yang terjadi di kota S, padahal hotel itu tergolong sudah punya nama di kota lain!). Aku juga tidak banyak berkomentar ketika Luki yang rupanya kenal akrab dengan petugas FO di hotel itu melakukan check in dan menggandengku ke sebuah kamar di lantai lima. Yang ada di kepalaku saat itu hanya bagaimana aku membuang kelebihan energi yang ada pada badanku, agar detak jantungku kembali normal. Setelah mengunci pintu kamar, Luki langsung menabrak tubuhku hingga tersandar di dinding. Mulutnya mendaratkan bertubi-tubi ciuman pada bibirku yang tipis, rahang dan daguku yang tirus, juga leherku yang agak panjang ini tak luput dari ciuman dan jilatan hangat mulutnya. Bekas-bekas cukuran kumis di atas bibirnya terasa seperti memarut kulit leherku, aku menggelinjang-gelinjang menerima rasa geli itu. Kedua tangan Luki meremas-remas kedua pinggulku dengan gemas, sementara tubuhnya tetap menekan tubuhku di dinding. Mulut dan lidahnya menjilati pangkal leherku hingga aku menengadah ke atas dan memejamkan mata keenakan. Lalu dibukanya kancing-kancing kemejaku dengan cepat dan dibukanya ke kiri dan kanan. Dengan gerakan yang amat cepat pula, ia menarik bra hitamku ke atas dada ini. Begitu kedua puting susuku terlihat, ia langsung melahapnya dan menghisap-hisap. Uhhh...seketika itu juga, aku mengerang panjang dan mendekap kepalanya erat-erat, memintanya agar tetap menempelkan mulut hangatnya pada puting susu kananku...dan ia menurutinya. Puting susu ini terasa seperti dibelai-belai oleh sebuah benda yang hangat, lunak, dan lembab. Rasanya begitu geli dan nikmat sampai ke sekujur tubuhku. Aku terus mendekapnya, sambil menggeliat menggelinjang merasakan nikmatnya. Sementara payudara kiriku kini menjadi korban remasan- remasan hangatnya. Puting kananku terasa telah tegang mengacung tinggi sekali ketika ia melepaskan mulutnya dari situ. Sempat aku menunduk sedikit untuk melihat betapa puting kananku ini tampak tegang dan merah berkilat karena basah oleh liurnya. Mulutnya kini menangkap puting kiriku. Ahkkkk...Aku kembali terhenyak dan menengadah ke atas karena nikmatnya. Kulengkungkan punggungku ke belakang hingga dadaku membusung ke depan agar Luki lebih mudah melahapnya. Ohhh...geliiii sekali. Lidah hangatnya menjentik-jentikkan puting kiri ini hingga ikut menegang kencang seperti yang kanan. Luki tampak begitu menikmati permainan ini. Bermenit-menit lamanya ia membuatku menggelepar-gelepar di dinding dengan menjilat dan melumat-lumat kedua puting susuku dengan mulutnya. Sampai aku benar-benar merasa kedua kakiku agak goyah karena gelinya. Namun detakan jantungku terasa tetap kencang dan tubuhku tetap terasa berlebihan energi meski aku sudah menggeliat- geliat hebat sambil mengerang-ngerang keenakan. Sambil tetap membiarkan puting kiriku berada dalam mulutnya, Luki membuka gesper sabuk dan kaitan celanaku. Dengan gerakan cepat juga, ia menurunkannya ke bawah berikut celana dalam yang kupakai, hingga kedua pahaku terasa dingin diterpa semburan AC. Aku mengangkat kaki kiriku untuk melepaskan Armani hitamku seluruhnya. Kedua tangan Luki kini hinggap pada kedua payudaraku sambil memilin-milin puting-puting susu ini, sementara mulutnya mulai menciumi pangkal pahaku. Uhhh...rasa geli datang pada titik-titik tak terduga, membuat tubuhku yang tersandar di dinding ini terjingkat-jingkat kecil. Kedua tangan Luki lalu meremas pantatku dan menariknya ke depan hingga rambut-rambut kewanitaanku kini menempel pada hidung Luki yang berlutut di depanku. Aduuhhhhh...Aku menggeliat keras sambil mengerang keras ketika kurasakan lidahnya yang lembut dan panas itu mulai menyapu-nyapu kewanitaan ini. Uhhh...Rasanya makin geli dan tak tertahankan nikmatnya ketika lidah itu menyayat-nyayat klitoris dan bibir kewanitaanku bertubi-tubi dengan perlahan namun mantap. Aku mendekap kepalanya erat-erat agar tidak jatuh terjengkang, sementara sambil berlutut ia membenamkan wajahnya pada selangkanganku sambil menjilat-jilat tanpa henti. Tiba-tiba kaki kananku diangkatnya hingga aku terpaksa berpegangan pada dinding agar tidak hilang keseimbangan. Diletakkannya lutut kananku pada bahu kirinya hingga kini ia lebih leluasa lagi mengerjai kewanitaanku yang rasanya sudah tak karuan ini, lembab, basah, hangat, dan berdenyut pelan. Ahhh...Aku merintih-rintih sambil menggeliat-geliat keenakan ketika bibir-bibir kewanitaanku dihisapnya, dijilat, atau aku tidak tahu diapakan lagi, yang jelas rasanya begitu nikmat dan membuat sekujur tubuhku menggelinjang- gelinjang. Setelah agak lama memperlakukanku seperti itu, ia menuntunku ke ranjang dan membiarkanku tergeletak disitu dengan seluruh pakaianku terlepas. Dengan penuh rasa tidak sabar aku terlentang sambil menatapnya melucuti pakaiannya sendiri. Pada cermin tinggi di sisi ruangan, aku bisa melihat tubuhku yang telanjang tergolek bergerak naik turun karena nafas terengah tidak sabar. Terlihat juga wajahku yang berbeda dari biasanya. Dengan makeup dan contact lens serba coklat, dengan rambut yang kaku oleh styling mousse, aku bahkan bisa terangsang melihat wajahku sendiri, yang sekarang tampak seperti orang lain, dengan mata kecoklatan yang sayu serta bibir berlipstik terracotta yang agak ternganga dipenuhi birahi. Masih tetap memandang pada cermin. Kulihat Luki mendatangi ranjang dan mengangkangkan kedua pahaku serta membenamkan wajahnya kembali di sana. Terasa kembali kehangatan lidahnya menyapu dan menjentik-jentik di sana, memperdengarkan suara kecipak air yang membuatku sadar bahwa kewanitaanku telah mengeluarkan banyak cairan pelumas. Uhhh...mataku setengah terpejam dan mulutku mendesah pelan. Wajah di cermin itu tampak asing, namun tampak begitu sensual dan merangsang dengan ekspresi yang memelas, alis yang menurun, kening yang berkerut, mata coklat yang setengah terpejam, dan mulut setengah terbuka yang mendesahkan rintihan menyayat. Nggghhh...Aku makin terangsang melihat dandananku sendiri, apalagi dengan jilatan-jilatan Luki pada kewanitaanku ini. Tampak pula di cermin itu jari-jari Luki merambati payudaraku...membelai... meraba... hingga akhirnya menangkap puting yang telah kaku ini. Uhhh...bahuku terangkat menyentuh pipi kananku, bayangan di cermin itu tampak begitu seksi. Warna kulit tangan Luki yang agak gelap nampak kontras dengan kulit badanku yang terang. Gerakan jemari yang sedang memilin dan meremas putingku ini tampak begitu indah dari cermin itu. Geliatan-geliatan tubuhku sengaja kubuat-buat agar bayangan pada cermin itu kian merangsangku. Setelah puas mengalirkan cairan pelumas kewanitaanku dengan mulutnya, Luki menjalarkan mulutnya ke atas, menelusuri perutku. Tangan-tangannya tampak dengan kokoh meremas-remas pinggangku. Mataku tak beralih dari cermin itu, menyaksikan mulut Luki merambat ke atas pelan...pelan...hingga Akhhh...menangkap putingku. Sambil nyaris terpejam karena tak kuat menahan geli aku tetap menatap ke cermin, menyaksikan bagaimana puting kananku menghilang di antara bibir Luki, lalu pipi Luki seperti mencekung karena menghisapnya, lalu putingku muncul melenting keluar dari mulutnya. Uhhh...ini dilakukannya berkali-kali hingga putingku yang kanan ini terasa agak pegal meski tetap kegelian. Belum lagi paha kanannya yang berrambut kasar itu kini digesek-gesekkannya pada kewanitaanku hingga cairannya yang telah deras itu berleleran pada pahanya. "Kamu lihat ke cermin ya?" Tanya Luki di tengah kegiatannya menikmati tubuhku. Aku mengangguk sambil terpejam-pejam menahan akibat dari kegiatannya itu. Luki tampak makin iseng. Ia mendudukkan tubuhku menghadap ke cermin, sementara ia duduk di belakangku agar punggungku bisa bersandar pada dadanya. Aku dapat melihat dengan jelas wajahku tampak kuyu diguyur birahi, dengan pipi-pipiku tampak bersemu merah, dan kedua puting susu ini tampak tegang dan panjang karena jadi bulan- bulanan hisapan Luki. Tangan-tangan Luki mengangkangkan pahaku lebar- lebar. Terpampang dengan jelas pada cermin itu bagaimana rambut-rambut di sekitar kewanitaanku tampak ikal karena dibasahi cairan pelumas. Tampak juga bibir-bibir kewanitaanku yang merah kecoklatan itu berkilat-kilat basah, serta agak membengkak. Dalam hati aku merasa agak jijik melihat kewanitaanku sendiri, namun pertunjukan tidak berakhir begitu saja. Dari cermin itu juga aku melihat telunjuk kanan Luki memijit klitorisku, dan menekannya sambil memutar-mutar... uhhhh... enakkkk sekali rasanya. Sementara tangan kiri Luki meremas-remas payudaraku dan tangan kanannya menjamah kewanitaanku, Luki berbisik di telingaku, "Lihat tuh, seksi sekali kan kamu dengan dandanan gitu?" Ohh...aku tidak menjawab. Aku hanya mengangkat kedua bahuku menahan geli. Aku berusaha keras untuk tidak memejamkan mata agar dapat melihat adegan itu pada cermin. Tampak wajahku memerah dan dihiasi butir-butir keringat, eksresi wajahku tampak memelas, mataku menyipit, keningku berkerut, alisku menyatu di tengah, dan mulutku ternganga. Harus kuakui, dengan dandanan dan ekspresi seperti ini, wajahku tampak amat merangsang. Tampak pula jari-jari tangan kanan Luki membentangkan bibir-bibir kewanitaanku hingga aku bisa melihat lubangnya mengalirkan cairan bening agak putih dari dalamnya, cukup deras hingga membasahi sprei ranjang ini. Luki lalu terbaring terlentang dan mengangkat tubuhku sedikit. Dengan sedikit bimbingan tangannya, ia mengarahkan kejantanannya pada kewanitaanku, lalu membiarkan tubuhku kembali turun pelan-pelan. Ufffhhhhh... sejenak aku terpejam diam. Merasakan kewanitaanku dijejali penuh oleh kejantanan Luki. Ngggg...enak sekali rasanya, aku membiarkan dulu sesaat benda itu terdiam terbenam di dalam sini. Lalu pelan-pelan kubuka mata. Tampak di cermin itu kejantanan Luki menusuk kewanitaanku. Aku tidak lagi mempedulikan cermin itu, dan mulai menggerakkan tubuhku naik turun. Birahi dalam tubuhku, juga energi berlebih akibat kopi ini menuntut penyelesaian secepatnya. Dan untuk itulah aku menggerakkan tubuhku dengan cepat. Agar lebih mudah, kedua tanganku menyangga di kiri kanan sementara badanku agak condong ke belakang. Dengan begini pinggulku leluasa bergerak naik turun dengan tumpuan kedua kaki. Uhhh... Aku membiarkan kepalaku tergantung menengadah ke belakang. Mataku terpejam nikmat. Aku menggesekkan kejantanan Luki di dalam sini, membiarkan benda itu menggerus-gerus tempat-tempat yang tepat... ohhh... nikmat sekali rasanya... Ngggh... Luki juga menggerakkan tubuhnya menyodok- nyodok ke atas. Aduhhh... Aku sedikit memutar pinggulku agar kejantanannya menggesek seluruh ruangan, uhhh rasanya...hhhhh. Jantungku berdegup makin kencang, aku menggerakkan pinggulku makin cepat. Ohhhh...aku sampai meringis-ringis menahan rasa nikmat yang memang kusengaja ini. Mmmmmhhhh... tangan-tangan Luki kembali tiba pada payudaraku, menambah sempurna kenikmatanku lewat kedua puting susuku yang kini dipilin-pilinnya. Ahhhh.... sedikit lagi... uhhhh.... Uhhhhh.... Uhhhhh.... Hentakan terakhirku membuat kejantanan Luki menyodok dasar kewanitaan ini. Bersamaan dengan itu pula, aku memperoleh yang kukejar sejak tadi. Klimaks ini terasa dahsyat juga, membuat tubuhku mengejang agak lama sambil aku tak melihat apa-apa selain warna putih. Sebelum akhirnya aku merasakan tubuh ini lunglai tergeletak di atas perut Luki. Kejantanan Luki yang masih mengisi tubuhku itu kini terasa mudah sekali bergerak karena banjirnya cairan pelumas dari dalam sini. Antara sadar dan tidak, aku merasakan Luki menelentangkan tubuhku di ranjang, dan menuntaskan pekerjaannya dalam posisi biasa. Gesekan-gesekan kejantanannya mula-mula membuat kewanitaanku yang baru saja dilanda klimaks itu terasa ngilu. Namun karena tehnik yang lembut dan hangat, juga remasan-remasan halus Luki pada kedua payudara ini, birahiku mulai naik kembali pelan-pelan. Meski energiku yang tadi berlebih kini terasa hampir habis, aku merasa permainan ini begitu memberiku rasa nikmat yang luar biasa. Aku hanya tinggal terlentang diam di ranjang, merasakan gerakan-gerakannya seperti menyirami tubuhku dengan rasa nikmat. Erangan-eranganku yang tadi terdengar memenuhi ruangan kini berganti dengan desahan lembut. Uhhhh... Uhhh... Uhhh... Namun lambat-laun ketika Luki mempercepat gerakannya, birahi dalam tubuhku juga ikut menggelegak dan gerakan kami jadi makin cepat. Beberapa detik kemudian, Luki menuangkan isi kejantanannya pada karet pengaman yang menyelubunginya. Beberapa detik setelah itu, klimaks kedua yang tak kalah hebatnya menghantam tubuhku. Aku tak cukup kuat lagi untuk menggeliat, hanya memejamkan mata rapat-rapat sambil menikmati datangnya gelombang indah itu. Mmmm... lalu sejenak dunia terasa sepi dan hangat. Tak terdengar apa-apa, tak terlihat apa-apa, tak terasa apa-apa kecuali kenikmatan yang hangat dan melemaskan. Lalu jiwaku beralih ke alam mimpi. Matahari sudah agak tinggi ketika aku duduk di Coffee Shop hotel bintang tiga itu. Dari dalam sini, tidak terasa bahwa hotel ini terletak di tengah kompleks pasar tradisional (wet market) P, di tepi jalan raya D di kota S. Rambutku yang masih agak basah setelah mandi pagi tadi kubiarkan diterpa hangatnya sinar matahari yang bebas masuk dari kaca-kaca besar di sisi ruang coffee shop itu. Hmm...nikmat sekali menyandarkan punggung dengan meletakkan tangan di belakang kepala begini, sambil diterpa hangatnya sinat matahari. Kemeja tipis yang kukenakan malam tadi telah berganti dengan kaos oblong putih polos yang kubawa dalam tasku sejak tadi malam, rambut pendekku yang semalaman kaku oleh styling mousse kini bersih dan agak basah tersisir ke belakang, mataku juga sudah terbebas dari contact lens coklat yang melelahkan tadi. Mmmm...lama aku menikmati suasana itu sampai tiba- tiba Luki mencolek pinggangku untuk menunjukkan bahwa di lobby di seberang sana, tampak Julie sedang berdiri di depan desk resepsionis, juga dengan rambut yang masih agak basah, dan wajah berseri-seri. Dan di sebelahnya... tampak si shareholder gendut yang semalam kulihat di pub. Hm...ternyata sampai sejauh ini si Julie berjuang meniti tangga karir di perusahaannya. Luki membentangkan buku menu di depan wajahnya agar tak terlihat oleh si shareholder yang untungnya tidak 'bother' untuk menengok ke arah coffee shop. Dari balik lensa kacamataku, kupandangi Julie di kejauhan, yang melenggok manja dan menggelendot di bahu si orang gendut. Kualihkan pandanganku ke Luki yang wajahnya masih tertutup buku menu. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang diharapkan Julie dari ini semua? Promosi? Kenaikan gaji yang hanya beberapa persen? Yang jelas bukan hanya kehangatan semata yang diharapkannya. Aku masih ingat karakter asli Julie di SMA dulu. Saat ia dengan rajinnya mengerjakan PR pada jam istirahat, saat ia dengan ngototnya menjelaskan persamaan-persamaan senyawa kimia padaku beberapa menit sebelum ulangan berlangsung, saat aku dengan gigihnya berusaha mengintip ke kertas ulangannya, dan saat kepala sekolah memberikan penghargaan padanya sebagai juara umum di depan anak satu sekolah. Hmm...sayang sekali. Apakah memang harus seperti itu perjalanan seorang bintang kelas? Seorang siswa teladan yang sering dijadikan contoh oleh guru BP ketika memarahi aku yang membolos? Seorang juara yang ketika orang tuanya datang untuk mengambil rapor selalu tersenyum bangga? Well...Meski aku baru saja melakukan hal yang kurang lebih sama dengannya, aku masih merasa diriku bersih. Kenapa? Karena aku meniti tangga karir tanpa harus mengorbankan apa yang ia korbankan. Karenanya, aku juga tidak khawatir kehilangan karirku, apalagi sebentar lagi aku akan memulai usahaku sendiri bersama pasanganku untuk meninggalkan belenggu karir ini untuk selama-lamanya. Naaah, selesai sudah cerita saya. Bagus nggak? Hehehe...semoga bagus deh. Oh ya, Kabar terakhir dari Julie, ia telah dipromosikan ke jenjang berikutnya di perusahaan tersebut. Konyolnya, Luki juga dipromosikan, hingga ia tetap menjadi atasan Julie. Belakangan Luki menelpon saya untuk menceritakan betapa Julie berusaha keras merayunya dengan gigih. Namun di akhir teleponnya ia mengatakan sambil bercanda bahwa untuk mendapatkan skor bagus, Julie masih harus belajar dari saya! Hihihi, malang sekali nasib si Julie ini bukan? Nah, mari dipikirkan bersama, kira-kira...kita berada di posisi kita sekarang ini, karena memang pilihan kita, ataukah karena kita merasa tidak ada pilihan lain? Apakah hal yang kita lakukan sehari-hari adalah karena kita 'ingin', ataukah karena kita 'harus'?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar